Rabu, 09 Januari 2008

Kedewasaan di Industri seluler

Pada Januari 2008, pemerintah akan menerbitkan aturan tentang standarisasi kualitas layanan lima jenis jasa telekomunikasi. Kelima jenis layanan itu adalah telepon seluler, telepon tetap nirkabel (FWA), telepon tetap kabel (PSTN), sambungan langsung jarak jauh (SLJJ), dan sambungan langsung internasional (SLI).

Bila kebijakan ini berhasil diimplementasikan, para operator telekomunikasi harus memenuhi standar-standar layanan yang tertuang dalam Service Layanan Agreement (SLA), mencakup antara lain keluha pelanggan, tagihan, aktivasi, call center, pemulihan gangguan, kualitas jaringan, serta tingkat keberhasilan pengiriman SMS.

Penerapan kebijakan ini memang layak ditunggu, mengingat hingga kini kita masih mendapati beragam keluhan terkait layanan yang diberikan operator telekomunikasi, khusus operator seluler.

Banyak layanan harus di-SLA-kan, seperti penanganan komplain tagihan dengan presentase tidak kurang dari 90 persen, aktivasi paskabayar yang harus dipenuhi dalam lima hari kerja, aktivasi prabayar yang tak boleh melebihi 24 jam, jumlah pelaporan gangguan layanan untuk setiap 1.000 pelanggan yang tidak boleh melebihi 50 laporan pada periode 12 bulan, persentase keberhasilan pengiriman SMS yang tidak boleh lebih dari 30 detik, dan beberapa lainnya.

Namun yang perlu mendapat perhatian lebih adalah successful call ratio alias rasio keberhasilan panggilan, dimana dalam ketentuan SLA nantinya jumlah panggilan yang tidak mengalami dropped call dan blocked call tidak boleh kurang dari 90%. Masih terlalu rendahkah? Ada segelintir penolakan atas rencana pemberlakuan kebijakan ini, yang naïf berpendapat bahwa SLA cukup didasari atas “rasa” pelanggan yang akan berpindah layanan operator dengan sendirinya jika kualitas layanan yang diterimanya buruk.

Resistansi atas penerapan kebijakan yang sedianya berujung pada peningkatan kualitas layanan bagi masyarakat ini, menandakan bbelum dewasanya industri seluler di Indonesia. Padahal, seharusnya keputusan pelanggan dalam memilih operator atau “meninggalkan” suatu operator harus didasarkan pada sebuah peringkat, sehingga bisa diketahui operator mana yang memiliki kualitas layanan paling baik.

Di dalam telekomunikasi, kualitas layanan voice, paling tidak dinilai oleh dua pengukuran yaitu grade of service (GoS) dan quality of service (QoS).

Quality Of Service merupakan sebuah mekanisme untuk mengontrol reliabilitas dan usabilitas suatu jaringan telekomunikasi. Ooperator seluler dan operator jaringan tetap sudah seharusnya memiliki ukuran QoS yang di publikasikan bagi para pelanggan calon pelanggannya.

Sementara GoS adalah probabilitas panggilan ditolak (diblok) selama jam sibuk. Persentase GoS didapat dengan membandingkan antara banyaknya panggilan yang tak berhasil. Dengan banyaknya panggilan yang terjadi.

Dalam wireless environment, target disain adalah 2% atau 5% saja. Jadi, ketentuan SLA yang mengharuskan jumlah panggilan yang tidak mengalami dropped call tidak boleh kurang dati 90%, jelas masih terlalu rendah alias masih terlalu longgar buat operator.

Semakin kecil persentasi GoS, semakin baik pula QoS operator dalam hal panggilan voice. Hitung-hitungan inilah yang juga diperlukan untuk mengetahui berapa kanal yang dibutuhkan untuk minimum GoS yang dipersyaratkan.

Nah, kanal inilah yang hingga sekarang menjadi momok dalam dunia interkoneksi. Sudah menjadi rahasia umum, panggillan dari dank ke operator telekomuikasi yang tergolong kecil akan sulit dilakukan.

Interkonesi inilah yang juga perlu mendapat sorotantajam dalam penerapan QoS. Factor persaingan usaha turut bermain disini. Hasilnya, probabilitas blocking sambungan dari dan keoperator lain, akan lebih tinggi di banding menelepon kesesama operator.

Lagi-lagi, kedewasaan industri selular tanah air kita dipertanyakan. Pilihan layanan dari munculnya beragam operator di Indonesia, tetap membuat masyarakat tak memiliki banyak pilihan. Minimnya edukasi juga membuat operator kecil-yang dirugikan dengan blocking interkoneksi ini-tetap kerdl dimata masyarakat.

Hal lain yang juga turut dipermasalahkan dalam penerapan QoS layanan telekomunikasi adlah kondisi geografis Indonesia yang berakibat pad kemampuan infrastruktur di masing-masing wilayah yang berbeda. Gitu aja ko! Buat saja QoS yang berbeda untuk setiap wilayah.

Kita harapkan saja kualitas layanan operator telekomunikasi akan jauh lebih baik ditahu 2008, dan semoga saja industri telekomunikasi I donesia akan semakin dewasa, kelak ketika peraturan tentang denda dan penalty terkait penerapan QoS juga turut diberlakukan.

Sumber: Legiman Misdiyono (Tabloid Pulsa edisi 122 Th V/2008)

Tidak ada komentar: